Kesucian Hati
Haji 1445 H - Ramani Travel
Ibadah Haji adalah ibadah yang agung sebagaimana dikaji dalam pembahasan tentang keutamaan dan keagungan haji.
Namun, bukan semua haji menghadirkan pahala. Bukan setiap jama'ah haji mendapatkan balasan surga dan meraih ampunan dosa-dosa. Hanya yang berpredikat "Haji Mabrur" saja lah keutamaan ibadah haji berlaku. Hanya haji yang suci dan jernih saja lah yang diterima oleh Allah ta'ala.
Berikut adalah beberapa kunci menjaga kesucian ibadah haji.
1. Menjaga Kejernihan Niat Hati.
Syarat mutlak keabsahan setiap ibadah ialah keikhlasan dalam niat dan tujuan pokoknya. Sudah sepantasnya, seorang hamba terdorong untuk tunduk beribadah karena cintanya kepada Allah ta'ala, pengagungan serta kerendahan dirinya di hadapan Allah ta'ala dalam rangka meraih ridha dari-Nya semata.
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أحداً
"Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah ia beramal shalih dan tidak mempersekutukan siapapun dalam ibadah kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110)
Dalam ayat lainnya Allah ta'ala berfirman menyatakan;
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّينَ * أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
"Maka beribadah lah engkau kepada Allah dengan ikhlas beragama hanya kepada-Nya (*) Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni" (QS. Az-Zumar: 2-3).
Apa jadinya bila kita menyekutukan Allah ta'ala dalam ibadah? Jawabannya, niscaya Allah ta'ala tidak akan menerima ibadah tersebut dan Dia akan menampakkan hamba itu beserta amalnya. Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, Allah ta'ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
"Aku Yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan menyertakan sekutu selain diri-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya itu". (HR. Muslim: 2985).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan tidak diterimanya amal yang kemurniannya ternodai.
Beliau bersabda:
إنَّ اللَّهَ لا يقبلُ منَ العملِ إلَّا ما كانَ لَهُ خالصًا وابتغيَ بِهِ وجهُهُ
"Sesungguhnya, Allah ta'ala tidak menerima amal melainkan yang ikhlas hanya untuk-Nya dan hanya diharapkan wajah-Nya semata" (HR. An-Nasa'i: 3140)
Demikian pula halnya kewajiban ikhlas yang digariskan dalam pelaksanaan haji secara khusus. Hendaklah murni tertuju sebagai ibadah hanya kepada Allah ta'ala semata.
Bahkan Allah ta'ala menetapkan perintah tersebut dalam firman-Nya;
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
"Dan sempurnakan haji dan umrah kepada Allah (semata)" (QS. Al-Baqarah: 196).
Bahkan, hanya haji murni penuh keikhlasan itulah yang niscaya akan menggugurkan dosa-dosa seperti layaknya bayi yang baru terlahir dari perut ibunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَن حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ ولَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَومِ ولَدَتْهُ أُمُّهُ
"Barangsiapa haji untuk Allah ta'ala (semata); ia tidak melakukan rafats dan kefasikan (dosa), niscaya ia kembali seperti di hari ia dilahirkan oleh ibunya" (HR. Bukhari: 1521 dan Muslim: 1350).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan keteladanan indah dalam memurnikan niat haji beliau. Pada saat beliau berihram membulatkan niat hajinya beliau mengucapkan;
اللَّهمَّ حَجَّةً لا رياءَ فيها ولا سُمعةَ
"Ya Allah, jadikan lah ini sebagai haji yang tiada padanya riya maupun sum'ah" (HR. Ibnu Majah: 2890) .
Perlu diingat bersama bahwa ketergelinciran hati yang menodai keikhlasan seringkali berupa bisikan yang sangat halus lagi tipis. Boleh jadi seorang hamba mengalaminya tanpa menyadarinya.
Seorang sahabat bernama Ma'qil bin Yasar radhiyallahu anhu mengisahkan, "Aku beranjak bersama Abu Bakar radhiyallahu anhu menuju Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda; "Wahai Abu Bakar, sungguh terdapat kesyirikan pada diri kalian yang lebih tersembunyi dari langkah seekor semut". Abu Bakar radhiyallahu anhu bertanya, "Bukankah kesyirikan hanyalah seseorang yang menjadikan sembahan selain Allah?". Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawabnya seraya bersabda, "Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh terdapat kesyirikan yang lebih tersembunyi dari langkah seekor semut. Maukah aku tunjukkan padamu sesuatu (sebuah doa) yang bila kau ucapkan niscaya (bisikan) kesyirikan lenyap darimu baik yang besar maupun yang kecil? Bacalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung diri kepada Engkau dari menyekutukan-Mu dengan kesyirikan dan aku menyadarinya, serta memohon ampun kepada-Mu dari yang tidak aku sadari". (HR. Bukhari dalam "Al-Adab Al-Murad": 739).
Para ulama menuntun kita untuk menempuh beberapa langkah strategis agar terhindar dari riya dan penyakit hati semisalnya dengan seizin Allah ta'ala.
1. Senantiasa berdoa memohon keikhlasan serta berlindung diri dari perusak kejernihan niat hati dalam setiap amal.
2. Mengingat kematian untuk membangkitkan semangat berbekal amal menuju negeri akhirat.
3. Berupaya menyembunyikan amal shalih dan menjaga kerahasiaannya bersama Allah ta'ala semata sebisa mungkin.
4. Menyadarkan diri bahwa pujian manusia tidak menjanjikan pahala dan tidak pula menjaminkan surga.
5. Menyadarkan diri bahwa manusia belum tentu menyanjungnya apalagi memberikan jaminan terhadap "hasrat hati" yang diinginkan dari riya, sum'ah atau penyakit hati lainnya.
6. Selalu mengingat bahwa di antara tipu daya dan muslihat licik setan dalam menggelincirkan hamba adalah dengan bisikan yang merusak ketulusan niat hatinya.
7. Berhitung diri ( muhasabah ) sebelum dan setelah beramal.
8. Merasa diawasi oleh Allah ta'ala ( muraqabah ) selama beramal.
9. Memperbanyak istighfar atas kekurangan dan keterluputan dalam amal sehingga tidak merasa "besar diri" atau "tinggi hati" dengan amalnya.
10. Mengingat bahwa riya adalah racun penghancur amal atau benalu yang merusak atur hingga menggugurkan pahala amal.
11. Mengingat murka Allah ta'ala atas semua bentuk kesyirikan.
12. Mengingat bahwa pelaku riya adalah yang pertama kali masuk neraka.
Bila seseorang tidak mencari pujian manusia namun ternyata ia mendapatkan sanjungan mereka, maka ia tidak tercela dengan pujian tersebut. Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku perihal seseorang yang melakukan kebaikan dan ia dipuji oleh manusia karenanya?". Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda menjawabnya, "Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk seorang mukmin" (HR. Muslim: 2642).
Bolehkah bagi seseorang memiliki keinginan duniawi tertentu dalam perjalanan haji??
Jawabannya; selama keinginan itu bukanlah tujuan utamanya dan hanya sebagai penyerta saja, maka tidak mengapa. Seperti berharap dapat membeli sesuatu dalam perjalanan. Atau menjumpai seorang ahli ilmu yang shalih. Atau mendapatkan teman shalih yang menguatkan proses dan langkah istiqamah. Allah ta'ala berfirman,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ
"Bukanlah dosa bagi kalian untuk berharap karunia (kebaikan) dari Allah Rabb kalian" (QS. Al-Baqarah: 198).
2. Hanya Meneladani Tuntunan Nabi ( Ittiba’ )
Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam "Hilyah Al-Auliya" bahwa Al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah menyatakan; "Amal terbaik adalah yang paling ikhlas kepada Allah ta'ala dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam". Selanjutnya beliau membaca firman Allah ta'ala dalam QS. Al-Kahfi: 110 di atas".
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menyatakan, "Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami, maka amal itu tertolak" (HR. Bukhari dan Muslim).
Tidak terkecuali dalam pelaksanaan haji.
Secara khusus beliau bersabda,
لتأخذوا مناسككم؛ فإنِّي لا أدري لعلي لا أحج بعد حجتي هذه
"Hendaklah kalian mengambil dariku tuntunan manasik kalian. Sungguh, aku tidak mengetahui, boleh jadi aku tiada berhaji lagu setelah haji ini" (HR. Muslim: 1297).
Sehingga para sahabat sebagai generasi terbaik umat ini telah berguru langsung dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tertanam kuat dalam sanubari mereka untuk hanya menjalankan agama sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Berikut ini beberapa contoh nyata komitmen para sahabat dalam mewujudkan langkah ittiba' mereka kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Suatu ketika Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menghadap Hajar Aswad seraya berkata,
"Sungguh, aku meyakini bahwa engkau hanyalah sebongkah batu yang tak memberikan celaka ataupun manfaat. Kalau bukan semata diriku telah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menciummu, niscaya aku tiada akan menciummu". (HR. Bukhari: 1597).
Dalam riwayat valid lainnya Umar bin Khattab radhiyallahu anhu memandang bahwa sebab raml pada thawaf telah hilang karena Allah ta'ala memuliakan Islam dan merendahkan kaum musyrik. Namun demikian beliau teguh berkata, "Apa urusan kita dengan raml. Dahulu, sungguh kita memperlihatkannya (saat thawaf) kepada kaum musyrikin dan sekarang Allah ta'ala telah membinasakan mereka. Namun, itu adalah tuntunan yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka kita tidak berkenan meninggalkannya". (HR. Bukhari: 1605)
Demikian pula Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berniat ihram tanpa mengetahui pasti ucapannya yang Nabi lafalkan. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bertanya kepadanya, "Apa yang telah Kau ucapkan saat niat ihram hajimu?". Lantas Ali menjawab, "Aku telah berkata; Ya Allah, aku berniat ihram dengan apa yang diucapkan Rasul-Mu saat beliau berihram". (HR. Muslim: 1218).
Subhanallah.. Ketundukan untuk selalu mengikuti apapun yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sufyan bin Uyainah pernah mendengar seorang pria bertanya kepada imam Malik (Wahai Abu Abdillah, dari mana aku berihram?). Malik menjawab, "Dari Dzul Hulaifah dimana dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mulai berihram". Pria itu berkata, "Sungguh, aku ingin berihram dari Masjid". Imam Malik menyambung, "Jangan kau lakukan itu!". Pria itu berkata lagi, "Sungguh, aku ingin berihram dari Masjid, tepatnya dari samping makam Rasulullah". Imam Malik menyahut lahi, "Jangan kau lakukan itu! Aku mengkhawatirkan ketergelinciran fitnah terjadi padamu (dengan itu)!". Si pria menjawab, "Fitnah apa yang akan menimpaku dengan ini?! Hanya menambahkan beberapa mil saja!". Imam Malik menegaskan, "Adakah ketergelinciran fitnah yang lebih berat dari menyangka bahwa kau merasa akan melakukan kebaikan yang Nabi pun tidak melakukannya?! Sungguh kau telah mendengar ayat
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Hendaknya orang-orang yang menyelisihi beliau (Nabi Muhammad) takut bila fitnah atau adzab pedih menimpa mereka" (QS. An-Nur: 63).
(Lihat "Ahkam Al-Qur'an" susunan Ibnu Al-'Arabi: 3/432).
Ibnu Abbas bersama Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhuma pernah thawaf mengitari Ka'bah namun Mu'awiyah menyentuh keempat sudutnya. Hal itu pun diingkari oleh sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dan seraya bertanya, "Mengapa engkau juga menyentuh dua sudut yang lainnya padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak menyentuhnya?!". Mu'awiyah radhiyallahu anhuma menjawab, "Semestinya, tidak ada satu bagian pun yang ditinggalkan (tanpa disentuh)". Maka Ibnu Abbas membacakan firman Allah ta'ala
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sungguh, telah ada untuk kalian pada diri Rasulullah keteladanan yang indah" (QS. Al-Ahzab: 21). (HR. Ahmad:1877)
Atas dasar inilah, banyak pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkait tuntunan pelaksanaan ibadah haji.
A. Seorang wanita mengangkat bayinya seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah bayi ini boleh berhaji?". Rasul menjawab, "Iya, dan bagimu pahala" (HR. Muslim: 1336).
B. Wanita lainnya bertanya, "Wahai Rasulullah, sungguh saat Allah ta'ala menetapkan kewajiban haji atas hamba-hamba-Nya ayahku telah lanjut usia. Beliau sudah tak mampu mapan di atas kendaraan. Boleh kah aku berhaji mewakilinya?". Nabi menjawab, "Iya". (HR. Bukhari: 1513).
C. Manakala Asma binti Umanis radhiyallahu anha melahirkan putranya Muhammad bin Abi Bakar, maka beliau mengutus seseorang untuk bertanya tentang dirinya, apa yang harus aku lakukan?. Maka Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda menjelaskan, "Mandi lah, dan sumbat lah (darah) dengan kain dan berihram lah" (HR. Muslim: 1218).
D. Seseorang datang kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di Mina dan bertanya, "Duhai Rasulullah, aku tidak menyadari sudah menggundul padahal aku belum menyembelih". Nabi menjawab, "Sembelih lah, tidak mengapa". Yang lain datang dan bertanya, "Wahai Rasulullah, aku tidak menyadari sudah menyembelih padahal aku belum melontar (jumrah)". Nabi menjawab, "Lontar lah, tidak mengapa". Demikian beliau ditanya tentang sesuatu yang dilakukan lebih dahulu atau ditunda. Semua itu dijawab oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawabnya, "Lakukan lah, tidak mengapa" (HR. Muslim: 1306).
3. Menyucikan Diri Dengan Bertaubat.
Siapakah orangnya yang tidak berdosa? Sudah semestinya setiap hamba di setiap waktu banyak memohon ampun kepada Allah ta'ala dan bertaubat dari dosa-dosa.
Tidaklah petaka dan celaka yang dialaminya melainkan akibat dosa perbuatannya sendiri.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
"Dan musibah apapun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan ulah tangan kalian sendiri. Padahal Allah (selalu) memaafkan dari banyak (dosa kesalahan)" (QS. Asy-Syura: 30).
Terlebih saat akan masuk ke tempat yang suci pada waktu yang mulia, hendaklah banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah ta'ala. Menyambut perjalanan ibadah haji yang agung dengan jiwa yang suci dan hati yang jernih.
Allah ta’ala memanggil hamba-hamba-Nya untuk meraih ampunan-Nya karena Allah ta'ala Maha mengampuni semua dosa.
Allah ta'ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Katakanlah (wahai Muhammad; Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui (batas dosa-dosa) atas diri mereka sendiri: janganlah kalian berputus asa dari kasih sayang Allah. Sesungguhnya, Allah Maha mengampuni semua dosa-dosa. Sesungguhnya, Dia Maha penganpun lagi penyayang" (QS. Az-Zumar: 53).
Hamba yang istimewa bukanlah hamba yang tak berdosa. Akan tetapi hamba yang istimewa adalah hamba yang banyak beristighfar kepada Allah ta'ala.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
كلُّ ابنِ آدمَ خطَّاءٌ، وخيرُ الخطَّائينَ التَّوَّابونَ
"Setiap anak cucu Adam banyak berdosa; dan sebaik-baik yang berdosa adalah yang banyak bertaubat" (HR. Ahmad: 13049, Tirmidzi: 2499 dan Ibnu Majah: 4251).
Beliau juga bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ، وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ، فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ، فَيَغْفِرُ لهمْ.
Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya; bilamana kalian tidak berdosa, niscaya Allah akan memusnahkan kalian dan mendatangkan suatu kaum yang berdosa, namun mereka beristighfar sehingga Allah ta'ala mengampuni dosa-dosa mereka" (HR. Muslim: 2749).
4. Bersyukur Dan Bersabar Akan Melapangkan Jiwa
Syukur dan Sabar bukanlah dua kosa kata yang asing. Karenanya, sebagian orang seperti belum memberikan porsi perhatian dan menjalankan keduanya sebagaimana mestinya.
Padahal, syukur dan sabar merupakan amalan hati yang tidak boleh terlepas dari setiap kondisi dalam hembusan nafas seorang hamba. Bila bukan tengah merasakan nikmat dan kegembiraan seseorang tentu dalam keadaan sempit dan kesedihan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda menyatakan,
عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له.
"Betapa mengagumkan urusan seorang mukmin; sungguh, semua urusannya baik dan hal itu tidaklah ada, kecuali pada diri seorang mukmin. (Yakni) Apabila dia mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka itulah yang terbaik baginya. Apabila dia dirundung kesempitan ia bersabar, maka itulah pula yang terbaik baginya" (HR. Muslim: 2999).
Hal ini seakan mudah menjadi sebuah teori, namun pada kenyataannya memerlukan effort besar dan banyak perhatian.
Sebagian orang menilai kepuasan, kesuksesan dan kebahagiaan adalah bila "mewah dan berkelas" , atau "menyita pandangan bernilai gengsi".
Padahal, kebahagiaan hakiki adalah apabila jiwa seorang hamba merasakan kedamaian dan ketentraman di setiap keadaan yang dinamis.
Bersyukur saat merasakan kenikmatan serta bersabar saat melewati kesulitan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan kita sebuah doa permohonan agar syukur dan sabar itu dapat lebih mudah untuk dijalankan.
اللَّهمَّ أعنِّي على ذِكْرِكَ، وشُكْرِكَ، وحُسنِ عبادتِكَ
"Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu serta memperindah ibadahku untuk-Mu" (HR. Abu Daud: 1522).
Dengan bersyukur, seorang hamba bukan hanya akan mendapatkan jaminan tambahan nikmat. Akan tetapi lebih daripada itu Allah ta'ala juga akan meridhai dan mencintainya serta melindunginya dari ancaman siksa.
Allah ta'ala berfirman,
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا)
"Allah tiada menyiksa kalian adzab manakala kalau bersyukur dan beriman kepada kalian. Dan Allah ta'ala Maha bersyukur lagi Maha berilmu" (QS. An-Nisa: 147).
وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ)
"Dan bila kalian bersyukur, niscaya Dia (Allah) akan meridhainya bagi kalian" (QS. Az-Zumar:7).
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا) [النساء: 147].
Demikian pula dengan bersabar di kala musibah mengujinya, niscaya seorang hamba akan meraih cinta Allah, limpahan kebaikan dan keberkahan, ampunan dosa-dosa, kemenangan serta kebahagiaan abadi di surga kelak.
Allah ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
"Dan Allah mencintai hamba-hamba yang sabar" (QS. Ali Imran: 146).
وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّابِرِينَ
"Dan bila kalian bersabar sungguh itu yang terbaik bagi hamba-hamba yang bersabar" (An-Nahl: 126).
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
"Kecuali hamba-hamba yang bersabar dan beramal shalih, bagi mereka itulah ampunan dan balasan yang besar (surga)" (QS. Huud: 11)
Bersambung insyaallah..
Ditulis oleh :
✍ Rizal Yuliar Putrananda